Supaya Kita Sempurna Menjadi Satu

Yohanes 17:20-23

Pendahuluan:

Tema ini sudah bukanlah sesuatu yang asing bagi kita.  Kita bahkan telah memahaminya secara mendalam sejak awal.  Pada saat sekolah minggu kita diberitahu bahwa kita diciptakan dalam satu gambar dan satu rupa dengan Allah.  Lebih meningkat lagi, kita tahu bahwa kita dipersekutukan dengan sesama orang percaya dari segala tempat dan sepanjang abad dalam satu persekutuan tubuh Kristus.  Saat akan menikah, kita mendapat pemahaman mengenai menjadi satu daging.  Bahkan saat ini pun kita berada dalam satu komunitas yang bernama STT Skriptura

Namun demikian, bukankah dalam realita menjadi satu kita kerap kali mendapati kesalah pahaman di dalamnya.  Jika memang kita satu gambar dan satu rupa dengan Allah: mengapa sulit sekali bagi kita untuk mengenal maksud dan tujuan Tuhan dalam hidup kita?  Jika memang kita adalah satu persekutuan tubuh Kristus dengan sesama orang percaya dari segala tempat dan sepanjang abad: mengapa mudah sekali sesama anggota gereja berselisih paham untuk hal-hal yang mungkin saja sepele?  Jika memang kita dengan pasangan kita adalah satu daging: mengapa ada perceraian, pertengkaran dan atau perselingkuhan?  Mengenai komunitas kita, saya bukan menyangsikan kualitas kesatuan kita, namun bukan berarti kita lepas dari bahaya perpecahan.  Sudah banyak lembaga kristiani yang merasa dirinya aman dan akhirnya pecah juga.  Untuk itulah perenungan ini menjadi penting

Rupanya memiliki pemahaman yang baik dan benar akan pengertian menjadi satu belumlah cukup sebelum kita merealisasikannuya dalam realita berelasi satu dengan yang lainnya.  Inilah maksud Tuhan Yesus ketika berkata untuk yang ketiga kalinya: supaya mereka sempurna menjadi satu.  Tantangannya adalah bagaimana kita menghayati kesatuan itu dalam sebuah persekutuan yang saling berelasi?  Bagaimana kita bertumbuh sempurna menjadi satu saat kita berelasi satu dengan yang lainnya?  Seperti apa kita berelasi dengan orang lain sehingga sempurna menjadi satu?

Pertama, relasi adalah anugerah yang harus terus kita gumuli.  Menarik ketika kita menyimak doa Tuhan Yesus ini, kita mendapati bahwa satu-satunya analogi yang digunakan oleh Tuhan Yesus akan relasi yang sempurna menjadi satu adalah relasi antara Diri-Nya dengan Bapa.  Bahkan Tuhan Yesus mengulangnya sebanyak 3 kali.

Seperti apakah relasi dalam ke-Allahn itu?  Relasi ke-Allahan adalah relasi yang unik.   Istilah Anak Allah sendiri digunakan untuk menjelaskan relasi kekal yang tak terpisahkan antara Allah dengan Firman Allah yaitu Yesus Kristus.  Disebut Anak Allah oleh karena Yesus adalah tindakan yang keluar dari atau diperanakan oleh Allah.  Ia adalah tindakan atau Firman Allah yang  pada puncaknya berinkarnasi sehingga dapat dilihat dan diraba.

Marthin Luther berkata: saya tidak mengenal Allah baik disurga maupun di bumi selain Allah yang menghadirkan diri-Nya dalam kandungan anak dara Maria. Karena di luar fakta itu Ia adalah Allah yang sama sekali tak terpahami.  Ia memberikan  diri-Nya dapat dipahami hanya dalam kedagingan Kristus.  Menariknya, bahkan relasi diantara Allah Bapa dan Anak Allah juga adalah Allah yaitu Allah Roh Kudus.

Pertanyaannya sudahkah kita menjadi satu dalam relasi yang unik dan otentik seperti ini?  Jika tidak, mengapa Tuhan Yesus justru menggunakan analaogi ini dan mengapa Ia justru berdoa agar kita sempurna menjadi satu?  Saya percaya bahwa ini dilakukan Tuhan Yesus agar kita sadar bahwa relasi adalah anugerah yang harus terus kita gumuli.  Relasi adalah anugerah yang tak terhindarkan namun demikian berelasi dengan orang lain bukanlah perkara mudah.  Berelasi dengan orang lain menuntut kita bergumul dengan diri sendiri secara unik dan tetap menjadi otentik sembari membuka diri untuk bertumbuh secara sehat.  Sebuah pepatah kuno: selama tangan masih terkepal, maka berjabat tangan merupakan sebuah kemustahilan.

Mampukah kita berelasi dengan orang lain dan menjadi semakin sempurna? Tanpa anugerah ini mungkin hanyalah mimpi disiang bolong.  Sebab, bukankah kemanusiaan telah  terjerat dalam diri yang egosentrism: yang ingin jadi pusat perhatian, pusat penghargaan, pusat penerimaan dan pusat pemuasan.  Demikianlah teory hierarchy of need menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.

C.S Lewis berkata: Jika anda memiliki relasi yang benar dengan Dia, anda tidak mungkin tidak memiliki relasi yang benar dengan sesama.

Sama seperti kita harus terus bergumul dalam relasi kita dengan Allah, maka relasi dengan sesama pun merupakan anugerah yang harus terus kita gumuli.  Anugerah yang harus terus digumuli oleh karena kita berelasi dalam diri yang rapuh dan lemah hingga pada akhirnya kita mengalami relasi dalam pengenalan yang sempurna, sama seperti doa Paulus: ‘… sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal (1 Kor. 13:12 b).

Kedua, relasi adalah anugerah yang harus terus digemari.  kenapa harus digemari?  C.S Lewis juga menulis:  “orang-orang yang bosan satu sama lain akan jarang bertemu; sebaliknya orang-orang yang tertarik satu dengan yang lainnya tentunya akan sering bertemu”.  Namun demikian, prinsip sederhana ini ternyata tidak mudah dipraktekkan.  Sebab, bukankah dalam seringnya bertemu seringkali menyebabkan relasi itu menjadi kian hambar dan kehilangan gregetnya lagi.

Kita adalah komunitas beriman, direlasikan oleh dan didalam iman yang satu yaitu kepada Yesus Kristus, yang sejauh ini menempati dunia yang sama.  Dunia adalah konteks dimana kita berelasi satu dengan yang lain.  Dunia memiliki pola atau sistem relasinya sendiri, yang seringkali memberi keuntungan.  Memang kadang kala kita memahami sebatas joke, misalnya saja ungkapan: ada uang abang disayang, tidak ada uang abang melayang.  Atau bisa jadi menjadi agak lebih serius, misalnya saja ungkapan: di dalam politik tidak ada kawan atau musuh sejati, yang ada hanyalah kepentingan sejati.  Apapun itu, jenis relasi yang ditawarkan adalah keuntungan sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri.

Bagaimana caranya kita menjaga relasi dalam konteks seperi ini?  Teruslah berusaha menggemari anugerah ini dan jangan pernah menginginkan model relasi yang ditawarkan dunia.  Sebab, relasi diantara kita di dalam Kristus adalah anugerah yang harus terus digemari.

Uniknya Tuhan Yesus berkata bahwa didalam relasi yang benar (yang telah kita bicarakan pada poin pertama) diantara kita, Ia sengaja menempatkan kita di dalam dunia yang membenci kita (ay. 14), dunia yang jahat (ay. 15), dunia yang tidak memiliki pengenalan akan Allah (ay. 25) dengan tujuan yang jelas dan spesifik yaitu supaya dunia percaya (ay. 21), dan agar dunia tahu (ay. 23) bahwa Yesus diutus oleh Bapa dan  perihal adanya relasi kasih Bapa di antara kita.  Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya supaya dunia percaya (ay. 21), dan agar dunia tahu (ay. 23) bahwa Yesus diutus oleh Bapa dan  perihal adanya relasi kasih Bapa di antara kita?

Ketiga relasi adalah anugerah yang harus dipertanggung jawabkan.  Apakah cara termudah dan murah dalam berelasi dengan orang lain? Memberi senyum.  Apakah itu cukup?  Tidak, sebab kadang senyum sudah menjadi gerak refleks dan spontan.  Kembali pada pertanyaan tadi: bagaimana caranya supaya dunia percaya (ay. 21), dan agar dunia tahu (ay. 23) bahwa Yesus diutus oleh Bapa dan  perihal adanya relasi kasih Bapa di antara kita?  Jelas senyum saja tidak cukup.  Kita harus mengkomunikasikannya, mempercakapkannya, memberitakannya.

Untuk itu kita harus ‘berdialogue’.  Men’dialogue’kan kasih Allah, seperti yang Tuhan Yesus sendiri katakan: “Ya Bapa yang adil, memang dunia tidak mengenal Engkau, tetapi Aku mengenal Engkau, dan mereka ini tahu, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku; dan Aku telah memberitahukan nama-Mu kepada mereka dan Aku akan memberitahukannya, supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka” (Yoh 17:25-26 ITB).

Inilah kasih yang harus kita ‘Dia-lo-gue’kan.  Kasih Dia kepada mereka melalui kita.  Artinya setiap kehadiran kita dalam relasi adalah pertanggung jawaban kasih dan kita mampu mencurahkan kasih itu sebagai pertanggung jawaban iman.   C.S Lewis menulis: keistimewaan dari kasih sayang adalah bahwa ia dapat menyatukan mereka yang tampaknya paling tidak mungkin dipersatukan. Di dalam kasih inilah kita harusnya berelasi dan  terus menerus menggemarinya.  Jika tidak demikian, bahkan kita mungkin dapat menjawab pertanyaan yang diajukan Marcell dalam lagunya: “mau di bawa kemana hubungan kita …”

Relasi diantara kita seharusnya adalah relasi yang menghadirkan kasih Bapa, kasih sorgawi, kasih yang nyata dalam tindakan-Nya menciptakan kita dalam satu gambar dan satu rupa dengan-Nya, kasih yang rela memberikan satu-satu-Nya Anak yang dikasihi-Nya, kasih yang masih sama yang menanti kita agar menggemari kasih itu lebih dari pada apa yang ditawarkan dunia.  Kasih sejati meliputi 3 unsur penting: passion, commiment dan intimacy.  Inilah wujud pertanggung jawaban iman kita.

Mampukan kita berelasi dengan orang lain dalam kesatuan yang semakin menjadi sempurna?  Tiga tahapan kesadaran yang harus kita terus hayati:

relasi adalah anugerah yang harus terus kita gumuli.

relasi adalah anugerah yang harus terus digemari.

relasi adalah anugerah yang harus dipertanggung jawabkan.

 

–apg–